Monday, March 30, 2009

GONDONGAN MENYERANG LELAKI DEWASA

Waktu kecil aku pernah sakit gondongan. Namun, dengan mudah sembuh tidak sampai satu minggu lamanya. Tidak disangka, anakku perempuan, Lintang namanya tertular gondongan dari temannya di SD. Puluhan tahun bagiku ini sudah berlalu sehingga tidak lagi memberiku arti apa-apa karena pastilah tidak parah.


Bagi Lintang ternyata parah sampai bengkak dua pipinya. Dibawa dia ke dokter untuk mendapatkan obat yang tokcer. Beberapa hari dia sembuh. Namun, tidak beberapa lama aku pun tertular dari dia. Dua pipiku bengkak dibuatnya. Ke dokter dekat rumat juga tentunya. Dokter yang terdekat untuk dapatkan obatnya.


Namun, malang tak dinyana. Bukan sembuh yang diraihnya, tapi malah menjalar itu gondong kemana-mana. Ke mulut karena tidak bisa makan. Napsunya hilang melayang begitu saja. Sampai suatu malam, aku terbangun. Sakit kurasa diperut tiada terkira. Aku pikir ini mau berak sehingga aku pun jongkok. Ah…lega memang mau berak rupanya.


Alamaaak….setelah berak berlalu sakit perut itu datang lagi bahkan kini membawa temannya si sakit pinggang. Sakit itu juga menjalar ke testisku. Rasanya seperti kena tendang selama berhari-hari lamanya. Sakit pinggang, sakit perut, sakit testis dan sakit pipi menjadi satu. Oooh…lama sekali hari-hari berlalu. Badan lemas, napsu makan tidak ada, panas dingin pula. Betul-betul sakit rombongan yang hebat.


Aku pun ke dokter lagi. Katanya, harus cepat-cepat diobati agar tidak menjadi impotent dan kemandulan. Iyalah…dok. Saya tersiksa sekali niih. Mohon segera ditolong. Lalu beberapa hari sakit seperti itu masih saja terjadi. Hingga hamper lewat satu minggu aku ke dokter lagi.


Kata dokter yang sama itu, dia menyerah melawan gondongan sendirian. Dia tidak sanggup katanya. Dia pun menulis surat pengantar ke RSD Cibinong yang dekat tempat tinggalku. Di RS itu aku pun masuk gawat darurat sementara adik ipar dan istriku bolak-balik ngurus kertas-kertas termasuk uang kertas tentunya.


Adik ipar lari-lari ke sana kemari BERBURU RUANG PERAWATAN. Ya…berburu karena berebutan ruang rawat kelas dua. Yang pasti ruang rawat kelas tiga sudah habis. Di RS itu, keluarga pasien disuruh mencari sendiri ruang rawat dengan dibekali selembar formulir. Bagus juga agar tidak terjadi fitnah bahwa RS menolak pasiennya. Akhirnya, aku dapat ruang rawat kelas dua dan itu pun satu-satunya setelah berhasil adu cepat dengan pasien lainnya. Malam itu hanya tinggal ruang rawat kelas satu dan VIP yang semalam seharga hotel bintang 4 di Bogor. Padahal ruang rawatnya biasa saja.


Aku diinvus karena memang sudah jarang makan. Bahkan makanku lebih sedikit dibanding makan anakku yang umur 2 tahun atau adiknya si Lintang. Suntikan antibiotic yang harganya 250ribu sampai 300ribu dimasukkan lewat invusan itu. Pantesan cepat sembuh wong antibiotiknya sampai seperempat juta harganya. Bandingkan dengan antibiotic oleh dokter rumah yang cuma 30ribuan.


Tiga hari lamanya aku di RS. Tidak nyaman karena sakit. Asik juga karena perawatnya cantik-cantik. Dan kenangan yang tidak bisa lupa adalah ketika tititku diperiksa sama dokter cantik, muda dan bisa jadi perawan. Dipegang-pegang pula. Pasti tidak akan lupa seumur hidup aku. Setelah tiga hari Allah SWT menyembuhkanku dan memberikan pengalamanan yang baik. Yang jelas aku gak mau balik lagi ke sana sebagai pasien. Apa pun sakitnya. []

No comments: